Hambatan Komunikasi Organisasi Vertikal

 


Baca Teks Berikut:

HAMBATAN KOMUNIKASI ORGANISASI VERTIKAL
 PT POS INDONESIA (PERSERO)
(KASUS PADA KANTOR POS MEDAN)

Salah satu faktor penting dalam mewujudkan iklim kerja yang kondusif dalam organisasi adalah adanya komunikasi yang efektif. Setidaknya, komunikasi antara pimpinan dan karyawan berlangsung dengan baik sehingga tercipta hubungan kerja yang harmonis. Munculnya unjuk rasa karyawan akhir-akhir ini mengindikasikan pelaksanaan komunikasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Unjuk rasa tidak perlu terjadi andaikata karyawan memperoleh informasi yang dibutuhkannya dan dapat pula menyampaikan aspirasinya melalui sarana komunikasi yang tersedia dalam organisasi.

Unjuk rasa karyawan dan pensiunan PT Pos Indonesia di beberapa kota secara substantif menuntut kenaikan gaji dan penghapusan tenaga alih daya, tetapi secara implisit juga menghendaki adanya komunikasi dengan pimpinannya. “Sekitar 150 orang pensiunan pegawai kantor pos berdemonstrasi di depan Kantor Pos Besar Medan, Rabu, 1 Juni 2011, meminta penambahan jumlah dana pensiun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. 

Hingga demonstrasi berakhir, tidak ada perwakilan dari Kantor Pos Besar Medan yang menerima dan berdialog dengan seratusan pensiunan tersebut. Sementara, di depan kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika sekitar 800 orang pegawai dan pensiunan, 28 Juni 2012 berunjuk rasa menuntut perbaikan kesejahteraan dan peningkatan keselamatan dalam bekerja. (Kusuma, 2012). Unjuk rasa terbesar diikuti sekitar 5000 orang dari perwakilan SPPI terjadi 28-30/6-2012 menuntut, antara lain (1) membayar uang pensiunan Pos Indonesia minimal sama dengan pensiunan PNS, (2) menerapkan komposisi upah pokok 75 persen dari gaji sebulan, (3) menghapuskan sistem “outsourcing, (Nababan, 2012) Jadi, unjuk rasa yang terjadi di Medan dan Jakarta selain mengajukan sejumlah tuntutan, pada dasarnya juga mengharapkan adanya komunikasi yang intens dengan pimpinan.

Menurut Sumartias dalam Sumantri (t.t) “fenomena unjuk rasa yang dilakukan buruh dilihat dari konteks komunikasi. Persoalan unjuk rasa juga mengindikasikan hubungan kerja yang mengalami gangguan. Hubungan ini merujuk pada bentuk komunikasi dan interaksi yang terjadi di antara manusia yang terikat pada proses perilaku menuju suatu kepuasaan kerja secara bersama." Sepanjang masalahnya mengenai komunikasi, unjuk rasa dapat dihindari manakala cukup kesempatan bagi karyawan untuk menyampaikan aspirasinya kepada
pimpinan baik secara formal maupun informal. Sebab para pengunjuk rasa menginginkan agar tuntutannya dapat didengar dan direspons pimpinan secara langsung. Jalur unjuk rasa sebenarnya dapat digantikan dengan efisiensi komunikasi organisasi.

Kegagalan komunikasi tidak saja memicu munculnya unjuk rasa, tetapi juga menganggu hubungan kerja antara pimpinan dan karyawan. Hubungan kerja sama yang terganggu juga menciptakan iklim kerja yang tidak kondusif. Menurut Pitaloka (2012) “hubungan industrial antara SPPI dengan Manajemen PT Pos Indonesia telah mengalami hubungan yang sangat tidak harmonis” Bahkan, hubungan seperti itu bisa mendorong terciptanya suasana permusuhan dalam perusahaan. “Bukan rahasia umum lagi perseteruan antara SPPI (Serikat Pekerja Pos Indonesia) dengan direksi sejak 28 Juni tahun lalu semakin memanas. Kondisinya ibarat api dalam sekam. Sebenarnya apa-apa yang dituntut SPPI, jika ditanggapi dengan baik dan diadakan dialog dari hati ke hati, mungkin sudah bisa diselesaikan dengan baik” (Djamin, 2013). Apabila suasana kerja seperti ini dibiarkan terus berlarut-larut, maka dampaknya dapat menurunkan kualitas pelayanan pos. Terlebih lagi, dalam “Kondisi kualitas layanan pada PT Pos Indonesia dalam perspektif masyarakat pengguna secara umum dapat dikatakan masih kurang, belum dapat memenuhi harapan masyarakat pengguna jasa layanan PT Pos Indonesia yang ditandai dengan rendahnya masyarakat dalam menggunakan produk-produk PT Pos Indonesia” (Kaban, 2011 : 70)

Fenomena unjuk rasa dan iklim kerja yang tidak kondusif menunjukkan kurang berfungsinya komunikasi organisasi, terutama komunikasi organisasi vertikal ke atas. Hal itu dapat dilihat dari rendahnya intensitas komunikasi dari karyawan kepada pimpinan. Minimnya pelaksanaan komunikasi itu dipengaruhi oleh hambatan yang bisa berasal dari organisasi, bentuk komunikasi, sikap pribadi, ketersediaan sarana komunikasi dan budaya masyarakat yang kurang mendukung. Di kantor pos cabang tidak adanya ruangan rapat cukup mengganggu karyawan untuk dapat mengutarakan pendapatnya secara formal. Sementara di kantor pos induk, faktor sistem (jam) kerja yang ketat tidak memberi peluang bagi karyawan untuk mengikuti pertemuan tatap muka dengan pimpinan.

Komunikasi organisasi vertikal ke bawah pelaksanaannya juga tidak mudah karena banyaknya jumlah kantor pos cabang yang lokasinya tersebar sehingga secara geografis terhambat. Kantor Pos Medan Divisi Regional I misalnya, mempunyai 32 kantor pos cabang terdiri atas 22 kantor pos cabang dalam (Kpcdk) di Kota Medan dan 10 kantor pos cabang luar kota (Kpclk) di kabupaten Deli Serdang.2) Lokasi kantor pos yang tersebar dan berjauhan antara yang satu dan yang lain secara geografis merupakan faktor penghambat bagi pelaksanaan kegiatan komunikasi khususnya secara bertatap muka. Para pengantar surat dan paket umumnya mempunyai jadwal kerja (shift) sendiri sehingga pada hari kerja sukar untuk mengumpulkannya di suatu tempat pertemuan.

Bentuk komunikasi pimpinan juga dapat menimbulkan kejenuhan di kalangan karyawan. Terlebih lagi, jika pimpinan mendominasi komunikasi sehingga kurang memberi kesempatan bagi karyawan untuk menyampaikan pendapatnya. Selain itu, kebosanan dapat terjadi di kalangan karyawan karena ketidaksesuaian jenis informasi yang dibutuhkannya dengan apa yang disampaikan pimpinan.

(Sumber: jurnal-ppi.kominfo.go.id)

***

Latihan:

Tuliskanlah permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan komunikasi yang kalian temukan pada teks tersebut!

Post a Comment

Previous Post Next Post